Kelas : 4 EB 18
NPM : 24210032
1. Jelaskan
bagaimana audit sosial independen dan mekanisme perlindungan formal dapat
mendorong perilaku etis !
Jawab :
Audit sosial yang independen, yang mengevaluasi
keputusan dan praktek manajemen dalam hal kode etik organisasi, meningkatkan
hal itu. Audit tersebut dapat berupa evaluasi secara teratur atau mereka dapat
terjadi secara acak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sebuah program etika
yang efektif mungkin membutuhkan keduanya. Untuk menjaga integritas, auditor
harus bertanggung jawab kepada dewan direktur perusahaan dan menyajikan temuan
langsung ke mereka. Susunan ini memberikan pengaruh kepada auditor dan
mengurangi kesempatan untuk balas dendam dari mereka yang diaudit.
2. Jelaskan tahapan
pengembangan moral Lawrence kohlberg !
Jawab :
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari
penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat
menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal
dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama,
individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini
bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua
menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang
menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”Dalam tahap dua perhatian
kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari
tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara
moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada
pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas
dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan
masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.
Dalam tahap tiga,
seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap
tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya
dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa
hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi
aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam
penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…
Dalam tahap empat,
adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu -
sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi
faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang
baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga
dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari
perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus
dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang
lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima,
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai
yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan
pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan
yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak
sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam,
penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan,
dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting
untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris
dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat
imperatif kategoris
dari Immanuel Kant]).
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang
saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari
John Rawls).
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg
yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
3. Jelaskan
pendekatan ‘wortel & tongkat’ atau the carrot and stick concept !
Jawab :
Pendekatan yang dilakukan pada karyawan menggunakan
Sistem Outdate (Hukuman dan Ganjaran). Oleh karena itu, tantangan terbesar bagi
HRD seringkali ditemukan di antara para eksekutif dan staf manajemen
perusahaan. Sehingga hal-hal yang selalu dibahas dan tidak selesai-selesai
masih seputar budaya perusahaan, strategi, struktur organisasi, dan sistem
dalam perusahaan itu. Padahal initi dari pembinaan adalah murni tentang bagaimana
mengubah perilaku karyawan yang berefek pada perubahan positif dan kemajuan
perusahaan.
4. Carilah beberapa
contoh perilaku tidak etis, min 5 !
Jawab :
·
penjualan produk ke luar negeri yang sudah terbukti
merusak kesehatan dan tidak diperbolehkan didalam negeri
·
mengambil barang-barang kantor untuk dibawa pulang
·
berbohong dengan alasan sakit untuk menutupi pekejaan
yang tidak beres
·
perusahaan membayar upah pekerja yang rendah
dibeberapa negara berkembang untuk membuat sepatu mereka yang berharga tinggi
·
penipuan produk yang tidak sesuai dengan yang
ditawarkan
·
penjualan produk yang sudah kadarluwarsa
5. Apa
yang dimaksud dengan :
a. Penyimpang
ditempat kerja
b. Penyimpang
hak milik
c. Penyimpang
politik
d. Penyimpang
produksi
Jawab :
a. perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kantor atau suatu perusahaan
b.
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan.
Misalnya: menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang
lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri
dari perusahaan lain.
c.
menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang
lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih
dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang
lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
d.
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah
hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja
bekerja lamban, sengaja membuang-buang sumber daya.
Sumber : http://blog.stie-mce.ac.id/rina/2011/11/14/etika-manajerial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar